Banda Aceh, sumateratoday.com-Di bawah terik matahari pagi, aroma kari yang memikat menguar dari dapur tradisional di Gampong Ateuk Munjeng, Banda Aceh.
Fajar Beizuri, seorang juru masak muda, dengan cekatan mengayunkan spatula raksasa, mengaduk kuah beulangong yang mendidih dalam 28 belanga besar.
Tradisi Nuzulul Qur’an di Masjid Al-Mukarramah, Ateuk Munjeng, kembali digelar, dan Fajar bertanggung jawab untuk menghidupkan tradisi kuliner yang telah diwariskan turun-temurun ini.
Fajar, 32 tahun, merupakan generasi ketiga dalam keluarganya yang bertugas sebagai koki kuah beulangong untuk acara Nuzulul Qur’an. Sejak 2013, setelah sang ayah wafat, Fajar mengambil alih amanah ini.
“Memasak kuah beulangong untuk Nuzulul Qur’an ini bukan sekadar pekerjaan, tapi juga tanggung jawab dan penghormatan terhadap tradisi leluhur,” ujarnya dengan penuh semangat.
Persiapan yang Sarat Kebersamaan
Sejak pukul 7 pagi, Fajar dan warga setempat bahu-membahu menyiapkan bahan-bahan. Empat ekor lembu telah disembelih, dagingnya dipotong-potong, dan dibumbui dengan rempah-rempah khas Aceh.
Fajar, dengan keahliannya, memimpin proses memasak.
Api dinyalakan di bawah belanga-belanga besar, dan aroma kari yang harum mulai menyebar ke seluruh penjuru desa.
Selama tiga jam, Fajar dan timnya tak henti-hentinya mengaduk kuah beulangong, memastikan setiap bumbu meresap sempurna dan menghasilkan rasa yang kaya.
“Nanti setelah shalat zhuhur, kuah beulangong sudah bisa dibagikan kepada masyarakat, anak yatim, dan juga disediakan untuk berbuka puasa di masjid,” kata Fajar sembari mengaduk kuah kari yang semakin pekat aromanya.
Simbol Kebersamaan dan Gotong Royong
Ketika kuah beulangong matang, aroma kari yang memikat semakin menggoda. Ratusan panci milik masyarakat telah tertata rapi untuk diisi kuah kari dari olahan tangan Fajar dan timnya.
Bagi masyarakat Ateuk Munjeng, kuah beulangong bukan sekadar hidangan lezat, tetapi juga simbol kebersamaan dan gotong royong yang telah diwariskan secara turun-temurun.